Select a type of content

The Mentawai dream of generating electricity from bamboo failed

  • 0
  • 0
  • 0
  • 0

Daun bambu yang mulai tumbuh kembali di ladang Malaikat Sarogdok (67), warga Dusun Rogdok, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Sebelumnya bambu itu telah ditebang oleh Malaikat beberapa bulan yang lalu karena mengganggu tanaman yang ada di ladangnya.

3.jpg

“Sudah saya tebang, sebab gara-gara bambu pinang saya tertutup cahaya matahari, seluruh bambu yang ada di ladang habis,” kata Malaikat Sarogdok (67), warga Dusun Rogdok, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan pada Desember 2022.

Bambu itu merupakan bahan bakar Pembangkit ListrikTenaga Biomassa Bambu (PLTBm) yang dibangun oleh pemerintah di Rogdog sejak 2017 dan baru beroperasi pada tahun 2019.

Setelah beroperasi pada 2019, mesin PLTBM mulai mengalami masalah, lampu menyala dan padam tidak menentu. Sekira 2020, pembangkit yang awalnya diproyeksikan dari tenaga bambu diganti dengan solar.

Warga yang sudah patah semangat memutuskan menebang bambu yang sebelumnya mereka tanam di ladang masing-masing. Selain karena tidak ada yang membeli, pokok bambu yang mulai menyebar di ladang menjadi penghalang tanaman warga yang sebelumnya ditanam seperti durian, pinang, pisang dan tanaman lain.

Malaikat mendapat bibit bambu dari pengelola PLTBm yang didatangkan dari Jawa, jumlahnya bervariasi, ada yang mendapat 100 bibit ada juga yang lebih. Ia sendiri mendapat bibit sebanyak 100.

Sebelum bambu yang ditanam warga dapat dipanen, PLTBm menggunakan bambu lokal yang ada di Siberut. Meski membutuhkan 1 ton lebih tiap bambu untuk menyalakan mesin namun pasokan bambu yang diberi warga tidak kurang.

Dengan harapan mendapat penerangan, mulailah ia menanam bambu di sela-sela tanaman yang ada di ladangnya. Selang dua tahun bambu itu makin besar. Ketika bambu sudah dapat dipanen, PLTBm sudah menghentikan pembelian bambu yang dulu Rp700 per kg sebab bahan bakar mesin diganti dengan solar.

“Sekarang tidak ada lagi, tinggal tunggulnya lagi yang mulai tumbuh lagi,” ujarnya.

Pada awal menyala, Malaikat bersama warga lain di Rogdok punya harapan besar selain mendapatkan penerangan pada malam hari juga membantu pekerjaan lain yang memakai alat bertenaga listrik.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Saliguma, Mateus Sakubou (47), salah seorang warga Saliguma menyebutkan, pada awal beroperasi bahan bakar yang dipakai pada PLTBm di Saliguma adalah kayu yang dipotong kecil-kecil dengan ukuran panjang sekira 8 cm dan lebar 3 cm. Warga cukup terbantu saat itu karena mendapat pendapatan tambahan sebab potongan kayu dibeli Rp700 per kg yang semula hanya Rp300.

Namun operasional PLTBm hanya dapat bertahan sekira sebulan sejak diresmikan sebab setelah itu mulai menyala tidak normal.

“Listrik menyala selama 2 jam kemudian tiba-tiba padang, selang 1 jam atau 2 jam kemudian setelah padam, menyala kembali, begitu seterusnya,” katanya.

Menurut informasi yang didapat Mateus dari teknisinya menyebutkan beberapa bagian mesin rusak sehingga listrik tidak dapat menyala.

Cacahan kayu siap jual yang dimiliki warga tidak laku yang membuat mereka dua kali frustasi, pertama listrik tidak menyala, kedua kayu cincang tidak dibeli.

Bambu yang sempat ditanam oleh Mateus kini dibabat habis karena merusak bagi tanaman lain. “Bukan hanya saya juga warga lain mulai menebang bambu itu karena tidak laku lagi dan mengganggu tanaman kami yang ada  sebelumnya,” kata Mateus.

Soal kayu cacahan buat bahan bakar mesin, Rupiella Samonganrimau paling kecewa.

"Ada 10 ton kayu yang saya cincang bersama suami tidak laku, kini sudah membusuk dan sebagian hanyut, kami benar-benar rugi akibat listrik biomassa bambu ini (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Bambu), rugi tenaga, waktu dan uang,” kata Rupiella Samonganrimau, salah seorang warga Dusun Silabok Abak, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Jumat, 2 Desember 2022.

Ibu rumah tangga berusia 40 tahun ini menumpahkan kekesalannya sebab pendapatan yang diharapkan dari menjual kayu yang telah dicincang kepada pihak Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Bambu (PLTBm) sirna karena pihak pengelola tidak mau membeli kayu yang telah diolah masyarakat sebab pembangkit berhenti beroperasi pada 2020 dengan menggunakan bambu atau kayu. Alasannya sederhana, mesin rusak sehingga bahan bakar yang awalnya menggunakan bambu diganti dengan solar.

Pada awal PLTBm beroperasi pada 2019 kayu yang mereka cencang masih dibeli dengan harga Rp700 per kilogram. Sekitar dua bulan berjalan mulailah kayu yang diolah warga tidak dibeli lagi. Sementara listrik PLTBm yang beroperasi di Desa Saliguma tidak menyala dengan lancar.

“Terkadang saat hidup selama 2 jam, tiba-tiba listrik mati, kemudian beberapa jam kemudian menyala kembali begitu seterusnya, listrik yang kami harapkan menyala dengan normal tidak kami nikmati,” ujar Rupiella.

Menurut Kepala Dusun Silabok Abak Desa Saliguma Kecamatan Siberut Tengah, Mentawai, Muksin Sakorokoinan, pengelolaan listrik sangat mengecewakan sebab sering mati dan menyala tidak teratur. “Banyak peralatan elektronik kami rusak seperti penanak nasi, televisi dan lainnya,” ujarnya.

November 2021 Operasional PLBm Terhenti

Megaproyek ini diklaim sebagai yang pertama berbahan bakar bambu di Asia Pasifik dengan biaya pembangunan hibah dari Amerika sebesar 12,4 juta USD.  Dengan menggunakan teknologi dari India, proyek PLTBm Bambu Siberut mulai diluncurkan Maret 2017 dengan kontraktor pelaksana PT. Clean Power Indonesia (CPI) yang menggandeng PT Inti Karya Persada Teknik (IKPT) sebagai kontraktor dan PT. Indopower International untuk konsultan penyusun dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan lingkungan Hidup (UKL/UPL) serta Ekologika sebagai konsultan feedstock, pembibitan dan penanaman bambu.

2.jpg

Direktur Perusahaan Daerah Mentawai, Hendrikus Erik Saurei yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Unit PLTBm Bambu Siberut mengatakan, pada 2018 setelah dibangun ada masa empat bulan pembangkit tidak disentuh, selama itu kemudian Bappenas turun tangan. Setelah Bappenas mengambil ahli baru mulai dioperasikan.

Akhir 2018 pembangkit menyala berbahan baku bambu dan kayu. Selain kayu dan bambu pembangkit itu juga menggunakan solar. Solar itu berfungsi memanaskan mesin pada saat pertama kali dinyalakan sebab mesin hanya beroperasi selama 6 jam sehari, yakni pukul 18.00 WIB sampai jam 00.00 WIB. Setelah mesin hidup secara normal baru dimasukkan bambu sebagai bahan bakar utama.

“Kita maunya 24 jam sebab dari segi biaya cukup murah sebab saat memanaskan mesin pembangkit itu butuh BBM yang cukup banyak. Solar harus kita datangkan hanya untuk menghidupkan, butuh 100 liter pemancing pertama. Setelah gas keluar dari bambu dari hasil pemanasan keluar baru mesin otomatis mesin solar mati,” ujarnya.

1.jpg

Setelah melalui serangkaian uji coba hampir setahun, PLTBm diresmikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada 17 September 2019.

Kapasitas pembangkit Plant Saliguma, 250 Kilo Watt (KW), Plant Madobag 303 KW, dan Plant Matotonan 350 KW masing-masing menyuplai listrik kepada 388 Kepala Keluarga (KK) di Saliguma, 468 KK di Madobag, dan 245 KK di Matotonan. Tiap rumah warga mendapat listrik kapasitas 450 VA.

Saat uji coba hingga resmi beroperasi, PLTBm sempat menggunakan bambu untuk bahan bakar pembangkit di Matotonan dan Madobag serta cacahan kayu di Plant Saliguma. Bambu dan kayu kering yang sudah dipotong kecil dibakar oleh mesin sehingga tercipta gas yang disaring menjadi bahan bakar generator listrik. Mesin diesel solar digunakan sebagai ‘pemancing’ untuk menghidupkan mesin gas.

Namun mesin gas ini sering kali bermasalah. Hendrikus Erik Saurei mengatakan, meskipun mesin hidup, namun saat disinkronkan untuk mengalirkan arus ke masyarakat, sering kali mati dan arusnya tidak stabil.

Menurut dia, kerusakan mesin seringkali menjadi persoalan pengelola PLTBm sebab untuk perbaikannya membutuhkan teknisi yang harus dididik langsung oleh tenaga ahli dari India. Belum lagi masalah suku cadangnya yang sulit ditemukan.

4.jpg

“Kami pernah bawa barang ke toko-toko di Padang, kami tidak temukan kemudian mereka bilang ada di Pekanbaru, kami cari ini merk India tidak ada tapi kalau cari merk Jerman atau Jepang, ada,” kata Erik kepada Selasa 5 Desember 2022.

Menurut Erik serapan listrik dari masyarakat juga rendah. Seperti di Matotonan, daya serap masyarakat hanya 11 kwh dari 150 kwh.

”Di Madobag, ada kapasitas 300 kWh tapi daya serap 28 kWh. Di Saliguma daya 250 kWh dengan serapan sekitar 22 sampai 24 kWh,” katanya.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai juga terbebani anggaran mensubsidi PLTBm ini. Tahun pertama pada 2019, mereka alokasikan Rp4 miliar, tahun kedua Rp6 miliar dan tahun ketiga Rp2 miliar. Dana ini adalah subsidi bukan penyertaan modal sebab status  pembangkit ini milik Bappenas diserahkan kepada Pemda Mentawai untuk dikelola.

“Namun ketika itu Pemda Mentawai tidak dapat mengelola secara langsung pembangkit ini, mereka harus mencari pihak lain untuk mengelola alat ini maka ditunjuklah perusahaan daerah untuk melakukan hal itu,” jelasnya.

Dana subsidi itu hanya operasional yakni membeli bahan baku, gaji karyawan dan menyalakan mesin tidak termasuk biaya perawatan. Erik mengatakan ketika ada bagian mesin yang rusak, menggantinya tidak gampang karena mesinnya dari India dan itu mahal. Masalah kedua anggaran untuk mengganti sparepart itu tidak ada, karyawan yang bekerja belum mampu melakukan penggantian sparepart ketika mesin mengalami gangguan harus mendatangkan orang luar yang butuh biaya.

Akhirnya yang terjadi adalah ketika satu mesin rusak sebagian alatnya diambil untuk memperbaiki mesin lain, begitu seterusnya hingga seluruh mesin berhenti total. Banyaknya persoalan yang mendera PLBm itu menyebabkan pembangkit listrik tenaga biomassa bambu di Pulau Siberut berhenti beroperasi sejak November 2021.

Tahun 2022 pemda tidak memiliki anggaran sehinga tidak mau memberi subsidi sementara PLTBm tidak memiliki dana mengoperasikan mesin.

Erik kemudian memilih mengundurkan diri sebagai Direktur PLTBm Siberut pada Januari 2022.

“Tanggal 4 Januari 2022 saya buat surat pengunduran diri mengembalikan wewenang ke pemda,” kata Erik.

Setelah dirinya mengundurkan diri, ia masih diajak dalam pembicaraan dengan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia soal listrik. Erik kemudian dikontak oleh PLN Sumbar untuk membahas persoalan kelanjutan listrik bagi masyarakat.

Pemda Mentawai yang saat itu dihadiri Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabeleake bersama Erik Saurei sepakat dengan dengan general manajer PLN Sumbar untuk melanjutkan layanan listrik.

PLN Sumbar kemudian datang dengan mesin sendiri dan menyalakan listrik namun statusnya sementara pada 2022. Mereka tidak menggunakan mesin milik PLTBm Siberut.

Posted 09 Jun 2023

Sign Up or Log In
for free to continue reading
  • 0
  • 0

Related articles

0 Comments

Be the first person to leave a comment!

Want to leave a comment?

Sign up or log in now.

Login